Laman

Jumat, 15 Januari 2016

Yuridiksi Hukum Dalam Kasus Cybercrime

Pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang yuridiksi hukum dalam kasus cybercrime. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa dengan adanya perkembangan teknologi yang semakin canggih , kejahatan dapat terjadi dimana saja , oleh siapa saja , tidak terbatas akan sebuah wilayah. Seseorang dapat melakukan sebuah kejahatan dengan jarak ribuan mil dari korbannya dan mengakibatkan kerugian. Bagaimanakah bentuk peradilan hukum dan yuridiksinya terhadap hal seperti itu ? Apakah hukum mampu menjangkau pelaku yang berada di luar teritorial dari negara kita ?
Untuk menjawab pertanyaan itu , marilah lebih dahulu kita mengetahui tentang apa itu yuridiksi hukum , asas dan prinsip yuridiksi , serta komponen yuridiksi didalam cybercrime hingga contoh kasus dari penerapan yuridiksi terhadap kejahatan cyber.

Pengertian Yuridiksi
Yurisdiksi berasal dari bahasa inggis yaitu “Jurisdistion “. Jurisdiction sendiri berasal dari bahasa latin “Yurisdictio”. Yuris berarti kepunyaan menurut hukum dan “Diction” berarti ucapan, sabda, sebutan ataupun firman.
Anthony Csabafi, dalam bukunya “The Concept of State Jurisdiction in International Space Law” mengemukakan tentang pengertian yurisdiksi negara dengan menyatakan sebagai berikut : Yurisdiksi negara dalam hukum internasional berarti hak dari suatu negara untuk mengatur dan mempengaruhi dengan langkah-langkah dan tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya, perilaku-perilaku negeri.

Prinsip Yuridiksi
1.    Prinsip Yurisdiksi Teritorial
Menurut prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya. Dibandingkan prinsi-prinsip lain, prinsip territorial merupakan prinsip yang tertua, terpopuler dan terpenting dalam pembahasan yurisdiksi dalam HI. Menurut Hakim Loed Macmillan, suatu Negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda dan perkara-perkara perdata dan pidana dalam batas-batas territorialnya sebagai pertanda Negara  tersebut berdaulat. Pengadilan Negara di mana suatu kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat dengan pertimbangan:
a.       Negara dimana kejahatan dilakukan adalah Negara yang ketertiban sosialnya paling terganggu;
b.      Biasanya pelaku ditemukan  Negara dimana kejahatan dilakukan;
c.       Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses persidangan dapat lebih efisien dan efektif;
d.      Sesroang WNA yang dating ke wilayah suatu Negara dianggap menyerahkan diri pada system HN Negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan pelanggaran HN di Negara yang ia datangi maka ia harus tunduk pada hokum stempat meskipun mungkin apa yang ia lakukan sah (lawful) menurut system HN negaranya sendiri.
       Dengan demikian, ketika seorang WN Australia tertangkap basah menyimpan dan memperjualbelikan ganja di sebuah hotel Denpasar, Bali Indonesia dapat menerapkan yurisdiksi teritorialnya terhadap orang tersebut.
       Meskipun penting, kuat dan popular, penerapan yurisdiksi territorial tidaklah absolute. Ada beberapa perkecualian yang diatur dalam HI dimana Negara tidak dapat menerapkan yurisdiksi territorialnya, meskipun suatu peristiwa terjadi di wilayahnya, beberapa perkecualian yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a.       Terhadap pejabat diplomatic negara asing
b.      Terhadap negara dan kepala negara asing
c.       Terhadap  kapal public negara asing
d.      Terhadap organisasi internasional
e.       Terhadap pangkalan militer negara asing

2.    Prinsip Teritorial Subjektif
       Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayahnya, tetapi diakhiri atau menimbulkan kerugian di Negara lain. Didekat perbatasan wilayah Indonesia-Malaysia, A yang berada di wilayah Indonesia menembak B yang berada di seberang perbatasan (wilayah Malaysia). Dalam kasus ini, Indonesia memiliki dasar untuk mengadili A berdasarkan prinsip territorial subjektif karena A melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayah Indonesia meskipun kerugiannya timbul di wilayah Malaysia.

3.    Prinsip Teritorial Objektif
       Berdasarkan prinsip ini suatu Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang menibulkan kerugian di wilayahnya meskipun perbuatan itu dimulai dari Negara lain. Prinsip territorial objektif muncul pertama dalam kasus Lotus, dimana kapal Prancis menabrak kapal Turki yang mengakibatkan kapal Turki tenggelam. Turki mengklaim memiliki yurisdiksi terhadap kapal Prancis karena menderita kerugian yang ditimbulkan oleh kapal (wilayah eksttrateriotrial) Prancis. Dalam kasus A di atas, Malaysia juga dapat mengklaim memiliki yurisdiksi untuk mengadili A karena telah menimbulkan kerugian yaitu tertembaknya B di wilayah Malaysia, meskipun penembakan dilakukan A dari wilayah Indonesia.

4.    Prinsip Nasionalitas Aktif
       Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warga yang melakukan kejahatan di luar negeri. Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengadilil TKI yang membunuh majikannya di Arab Saudi atas dasar prinsip ini. Dalam praktik sering terjadi klaim yang tumpang tindih dari beberapa Negara karena pelaku kejahatan memiliki kewarganegaraan ganda. Karenanya sangat penting bagi suatu Negara untuk membuat aturan tegas siapa yang berhak mendapatkan kewarganegaraan di negaranya.

5.    Prinsip Nasionalitas Pasif
       Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang menjadi korban kejahatan yang dilakukan orang asing di luar negeri. Dengan prinsip ini maka Indonesia akan memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip nasionalitas pasif terhadap Philip (Warga Filipina) yang membunuh Soni (Warga Indonesia) di Thailand. Dalam kasus US v Yunis 1989, Amerika mengadili Yunis, warga Libanon yang dituduh terlibat pembajakan pesawat Yordania di Timur Tengah atas dasar prinsip nasionalitas pasif. Beberapa warga AS yang ada dalam pesawat Yordania itu menjadi korban perbuatan Yunis.

6.    Prinsip Universal
       Yurisdiksi universal dalam hukum internasional bertujuan untuk memproses fenomena pengampunan (impunity) bagi orang-orang tertentu. Pelaku serious international crime tanpa di bawah hukum internasional yang menikmati impunity bebas bepergian ke suatu tempat yang diinginkannya setelah ia melakukan serious international crime tanpa bisa dimintai pertanggungjawaban bahkan hanya untuk sekedar diinvestigasi.
       Yurisdiksi universal adalah yurisdiksi yang bersifat unik dengan beberapa ciri menonjol sebagai berikut:
a.    Setiap Negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Frase “setiap negara” mengarah hanya padanegara yang merasa bertanggung jawab untuk turut serta secara aktif  menyelamatkan masyarakat internasional dari bahaya yang ditimbulkan oleh serious crime, sehingga merasa wajib untuk menghukum pelakunya. Rasa bertanggung jawab tersebut harus dibuktikan dengan tidak adanya niat untuk melindungi pelaku dengan memberikan safe heaven dalam wilayah negaranya.
b.    Setiap Negara yang ingin melaksanakan yurisdiksi universal tidak perlu mempertimbangkan siapa dan berkewarganegaraan apa pelaku juga korban dan dimana serious crime dilakukan. Dengan kata lain dapat dikatakan tidak diperlukan titik pertautan antara Negara yang akan melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban dan tempat dilakukannya kejahatan itu sendiri. Satu-satunya pertimbangan yang diperlukan adalah apakah pelaku berada di wilayahnya atau tidak? Tidak mungkin suatu Negara bisa melakansakan yurisdiksi universal bia pelaku tidak berada di wilayahnya. Akan merupakan pelanggaran hokum internasional bila Negara memaksa menangkap seseorang yang berada di wilayah Negara lain.
c.    Setiap Negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universalnya terhadap pelaku serious crime atau yang lazim disebut internastional crime.

Komponen Yuridiksi hukum dalam kasus cybercrime
Selanjutnya dalam kasus-kasus cybercrime, yurisdiksi hukum selalu menjadi masalah serius yang dihadapi oleh penegak hukum. Apalagi jika melibatkan warga Negara asing. (Brenner, 2006) dalam bukunya yang berjudul IT Law Series Vol 11 Cybercrime and Jurisdiction menjelaskan bahwa untuk menjawab permasalahan cybercrime dalam yurisdiksi hukum ini yang melibatkan antar Negara, maka ada 7 komponen yang dapat digunakan oleh negara untuk mengklaim yurisdiksi hukum atas kasus cybercrime yaitu :
-       Tempat Kejahatan Dilakukan
Hal ini biasanya dilakukan dengan menerapkan asas territorialitas dengan faktor seperti :
·         Lokasi tempat dilakukannya kejahatan
·         Lokasi dimana alat berada
·         Lokasi dimana pelaku berada
·         Lokasi dimana akibat berada
·         Lokasi dimana ada hal-hal yang berhubungan dengan kejahatan tersebut

-       Tempat Dimana Pelaku Ditangkap
Komponen ini digunakan dengan menerapkan prinsip universalitas dimana setiap Negara berhak untuk mengadili setiap orang yang melakukan kejahatan internasional.

-       Akibat
Pada komponen ini, dimana akibat atau korban berada, maka Negara tempat korban tersebut berada berhak untuk mengklaim yurisdiksi atas kasus ini.

-       Nasionalitas (Kewarganegaraan)
Komponen ini terbagi dua yaitu kewarganegaraan korban dan kewarganegaraan pelaku. Kewarganegaraan korban dapat digunakan untuk mengklaim yurisdiksi atas suatu kasus dan kewarganegaran pelaku juga dapat digunakan namun Negara pelaku harus menjamin dapat mengadili seadil-adilnya pelaku tersebut karena merasa “bertanggung jawab” atas perbuatan yang dilakukan si pelaku.

-       Kekuatan dari Kasus Tersebut
Komponen ini harus diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dokumen yang menyatakan bahwa mereka mempunyai kasus yang cukup kuat (dalam hal bukti, saksi, dll) untuk mengadili pelaku di negaranya.

-       Pemidanaan
Lamanya pemidanaan dapat dijadikan komponen untuk menentukan yurisdiksi dalam kasus cybercrime. Misalkan hukuman untuk orang yang melakukan hacking di Negara A adalah 5 tahun dan di Negara B 3 tahun, maka Negara A berhak untuk mengklaim yurisdiksi nya

-       Keadilan dan Kenyamanan
Dalam komponen ini, keadilan maksudnya untuk Negara yang berhak mengklaim yurisdiksi atas kasus cybercrime adalah Negara yang memiliki sistem peradilan yang adil dan tidak memihak dan juga yang paling nyaman bagi saksi untuk hadir dalam persidangan.


Penerapan Yurisdiksi dalam Kasus Cyber Crime di Indonesia
Ada beberapa kasus yang berhubungan dengan yuridiksi dan hukum internasional yang di lakukan Warga Negara Asing di Indonesia, ataupun korbannya adalah warga negara Indonesia, namun yang sedang hangat-hangatnya terjadi adalah kasus Dimitar Nikolov, seorang Warga Negara Asing asal Bulgaria yang melakukan kejahatan ATM Skimming di Indonesia. Dimitar Nikolov sudah beraksi di Indonesia sejak 2013 , tepatnya di Bali dan telah mencuri lebih dari 5.500 kali melalui 509 kartu ATM Palsu dengan total kerugian sebesar 1,5 miliar euro atau setara dengan Rp. 24 Triliun. Modus utama dari Nikolov adalah dengan menempatkan sebuah alat skimmer atau alat penduplikasi data kartu di ATM , dan juga menempatkan kamera mini untuk merekam saat korban menekan tombol dari personal identification number ( PIN). Dengan begitu, ketika korban memasukkan kartu ATM nya pada mesin , maka nikolov telah mendapatkan 2 informasi , yaitu data kartu ATM dan juga nomor PIN. Data-data tersebut di masukkan kedalam kartu ATM kosong dan kemudian dapat digunakan sama seperti kartu aslinya, saat itulah pelaku menguras semua isi dari rekening korban.
Menurut Informasi yang dilansir Kompas , Kabareskrim Komjen Anang Iskandar menyebutkan bahwa Nikolov tidak mengincar warga negara Indonesia. Ia mengincar warga negara luar yang tengah berwisata di Bali dengan jumlah uang yang tidak besar, namun dengan korban yang banyak.

Dan Pada tanggal 23 Oktober yang lalu, Kepolisian Indonesia berhasil menangkap Nikolov dari tempat persembunyiannya di Bosnia. Penjemputan dilakukan oleh Direktur Tipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Bambang Waskito pada 23 Oktober 2015. ‎Nikolov dijemput setelah disetujuinya permintaan ekstradisi Bareskrim ke Pemerintah Bosnia untuk mengekstradisi Nikolov. Nikolov dijerat dengan Pasal 362, 363, 406 KUHP, Pasal 30 Jo Pasal 46 dan atau Pasal 32 Jo Pasal 48 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Pasal 3, 4, 5,  dan 10. Juga UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Dari kasus diatas kita dapat melihat bahwa Indonesia bersikap tegas menegakkan hukum dengan asas yuridiksi teritorial dengan komponen dimana kejahatan itu dilakukan. Dimitar Nikolov merupakan warga negara Bulgaria , namun dia melakukan tindak kejahatan di wilayah hukum Indonesia. Perbuatannya merugikan ekonomi nasional , perlindungan terhadap data strategis, menghilangkan kepercayaan negara lain terhadap keamanan negara Indonesia,serta pelecehan atas harkat dan martabat negara. Meskipun yang menjadi korban secara finansial adalah warga negara Asing , namun akun dari ATM korban tersebut merupakan Bank milik Indonesia, dan juga menurunnya kepercayaan pihak Asing terhadap keamanan data dari Bank tersebut. Selain itu , tindak kejahatan ini mampu memberi efek trauma terhadap korban sehingga berkemungkinan akan mengakibatkan berkurangnya wisatawan asing ke Indonesia.
Mengapa Dimitar Nikolov bisa di tangkap di Bosnia, Serbia ?
Kepolisian Indonesia memang sudah menetapakan Dimitar Nikolov sebagai tersangka utama dari kasus ATM Skimming , dengan adanya sebuah kerjasama hukum Internasional dengan Negara Serbia , Indonesia bisa mengajukan permintaan ekstradisi terhadap seorang penjahat buronan hukum negara. Oleh karena itu ,Kepolisian Indonesia berhasil menjemput Dimitar Nikolov di Bosnia untuk diadili di Indonesia.
Dari kasus diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa , apapun tindakan kejahatan yang dilakukan , akan diadili berdasarkan hukum dan yuridiksi yang berlaku, walaupun kejahatan tersebut dilakukan oleh warga negara asing sekalipun. Landasan hukum Indonesia menjerat kuat terhadap semua tindak kejahatan yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan seluruh regulasi hukum lain yang mengaturnya. Kejahatan secara dunia maya pun akan mendapatkan perlakuan hukum yang sama.
Demikian lah pembahasan saya tentang yuridiksi hukum dalam kasus cybercrime. Semoga bisa menambah wawasan kita. :)


Referensi :
Afitrahim, M. (2012). Yurisdiksi Dan Transfer of Proceeding Dalam Kasus Cybercrime. Universitas Indonesia.
Brenner, S. W. (2006). Chapter 17, The Next Step: Prioritizing Jurisdiction. In IT Law Series Vol 11: Cybercrime and Jurisdiction (pp. 330–346). Leiden: Asser Press.
Kuwado, F. J. (2015, October 23). 5.500 Kali Beraksi di Bali, Pencuri via ATM Asal Bulgaria Kantongi Rp 24 Triliun. Kompas.com. Jakarta. Retrieved from http://nasional.kompas.com/read/2015/10/23/19592061/5.500.Kali.Beraksi.di.Bali.Pencuri.ATM.asal.Bulgaria.Kantongi.Rp.24.Triliun

Republik Indonesia. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (2008). Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar